Selasa, 26 Februari 2013

Krisis Ekonomi Indonesia


KRISIS MONETER INDONESIA

KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand “Bath” terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari “Bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.
Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas “band” pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim “band” tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta  dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi.  Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.
Sampai sekarang, sudah lima tahun, pemulihan pertumbuhan ekonomi belum mencapai tingkat pra-krisis (tahun 1996/97).
Selama dekade sebelum krisis, Ekonomi Indonesia bertumbuh sangat pesat.  Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997.  Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan moneter yang stabil, dengan tingkat inflasi dan bunga yang rendah, dengan tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, dengan APBN yang Berimbang, kebijakan Ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada Migas), dengan kebijakan Neraca Modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan di satu pihak suatu optimisme yang luar biasa dan di lain pihak keteledoran yang tidak tanggung-tanggung.  Suatu optimisme yang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkat laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri, sepertinya lepas kendali. Kesuksesan Pembangunan Ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan juga tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit itu.  Keteledoran ini juga terjadi dalam negeri. Dimana kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan tidak dilihat “cost benefit” secara cermat.  Kredit jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh optimisme dan keteledoran ini ekonomi didorong bertumbuh diatas kemampuannya sendiri (“bubble economics”), sehingga waktu datang tekanan-tekanan moneter, Pertumbuhan itu ambruk!
Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi Pembangunan Ekonomi. Pembangunan Ekonomi yang selama ini adalah “State” dan “Government-led” beralih menjadi “led by private initiatives and market”.  Hutang Pemerintah/Resmi/Negara turun dari USD. 80 milyar menjadi USD. 50 milyar di akhir tahun 1996, sementara Hutang Swasta membumbung dengan cepatnya. Jika di tahun 1996 Hutang Swasta masih berada pada tingkat USD. 15 milyar, maka di akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD. 65 milyar – USD. 75 milyar.

Proses Swastanisasi/Privatisasi dari pelaku utama Pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme Deregulasi diliputi visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran bank-bank Swasta di seluruh tanah air dan bertaburan Korporasi-Korporasi Swasta yang memperoleh fasilitas-fasilitas tak terbatas. Proses Swastanisasi ini berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN. Maka ketika diserang krisis mata uang, sikonnya  belum siap dan masih penuh kerapuhan-kerapuhan, terlebih dunia Perbankan dan Korporasi. Maka runtuhlah bangunan modern dalam tubuh Ekonomi Bangsa. Dan kerapuhan ini ternyata adalah sangat mendalam dan meluas, sehingga tindakan-tindakan penyehatan-penyehatan seperti injeksi modal oleh Pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi Perbankan dan Korporasi-Korporasi sepertinya tidak mempan selama dan sesudah 5 tahun ini. Sektor Finansial dan Korporasi masih tetap terpuruk.  Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula!
Apa implikasi dari runtuhnya sektor modern dari bangunan ekonomi kita ini? Peningkatan Pengangguran, Peningkatan Kemiskinan dan Hutang Nasional. Dan hal-hal ini langsung mengena pada nasib ekonomi Rakyat kita.
Namun akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak dengan suatu Resistensi dan Kreativitas Ekonomi yang militan. Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting/prioritas, malahan dianggap sebagai penghambat dari pertumbuhan Ekonomi, bukan saja menampung reruntuhan-reruntuhan dari ambruknya sektor modern,  namun juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Dan yang mengesankan adalah peran dari asas kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditampung dalam sektor tradisional dan sektor informal dan merupakan bagian dari Resistensi Ekonomi Rakyat dalam krisis ini.
Maka para pakar/pengamat yang selama ini meragukan berfungsinya asas kekeluargaan seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD-45, itu perlu “pulang kampung” untuk melihat dan mengalami bahwa asas kekeluargaan itu betul-betul hidup di kalangan masyarakat dan sungguh-sungguh merupakan asas solidaritas yang berfungsi dalam kehidupan ekonomi rakyat.
Resistensi, kreativitas ekonomi rakyat, produktivitas sektor tradisional dan berfungsinya asas kekeluargaan, merupakan kekuatan ekonomi yang riil yang telah mampu menahan kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh krisis itu, dan malahan telah mampu pula mengangkat pertumbuhan ekonomi kembali pada permukaan pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan +13,7% dengan tercapainya tingkat +0% di tahun 1999, dilanjutkan dengan pertumbuhan +4,8% di tahun 2000, yang hampir sama dengan pertumbuhan ekonomi pra krisis (1997, +4,9%). Tentu tidak semuanya oleh Ekonomi Rakyat. Dalam bahasa resmi Ekonomi, pemulihan ekonomi selama 2 tahun itu disebabkan oleh peningkatan ekspor (non Migas), oleh investasi dan konsumsi. Dalam hal ekspor dan konsumsi, peranan ekonomi Rakyat adalah menonjol. Dalam hal ekspor, cukup berperan ekspor hasil Perkebunan rakyat, sehingga di Manado yang unggul dalam hal cengkeh itu – “dia orang bilang, di Jakarta resesi, di Manado resepsi, no!”.  Juga dalam hal konsumsi yang kecuali dipenuhi oleh import, juga oleh produksi dalam negeri, hasil kegiatan rakyat.
Masalahnya adalah mengapa ekonomi Nasional jatuhnya begitu dalam, dalam setahun, tetapi juga dapat cepat pulih dalam 2 tahun berikutnya. Jatuhnya demikian dalam di tahun 1998, menunjukkan betapa rapuhnya dan paniknya  sektor Finansial dan Korporasi, alias sektor modern dari bangunan ekonomi kita. Dan seperti telah dikatakan, begitu rapuhnya sehingga dengan segala “inset” dari modal, energi dan konsentrasi sampai sekarang sektor ini belum dapat berfungsi kembali normal.  Dan cepat kembalinya pemulihan ekonomi selama dua tahun berikutnya dikatakan adalah berkat ekonomi Rakyat. Apakah hanya karena itu saja? Tentu tidak hanya itu saja. Faktor kepercayaan pada programa ekonomi Pemerintah dalam kerjasama dengan IMF dan hilangnya panik ekonomi turut bermain peran.  Namun secara riil, peran ekonomi Rakyat seperti yang telah digambarkan itu memang besar!
Tetapi antara ekonomi Rakyat/Ekonomi Tradisional dan Ekonomi Modern tidak perlu diadakan dikhotomi.  “Dual economy” nya Prof. Boeke, adalah suatu kenyataan dan merupakan dua kekuatan ekonomi yang perlu diintegrasikan menjadi sokoguru dari bangunan ekonomi Nasional yang modern.
Krisis Ekonomi yang kita alami dewasa ini menunjukkan bahwa keserakahan sektor modern akan kredit, fasilitas dan perluasan kegiatan, dan kurang adanya Pengawasan, adanya KKN, itulah yang telah menjerumuskan Ekonomi bangsa ke dalam keterpurukan yang berkelanjutan ini.
Disebabkan oleh Politik Isolasi Nasional dan menumpuknya Defisit APBN dari tahun ke tahun sedari tahun 50-an dan selama penggalan pertama tahun 1960-an, maka di tahun 1965-66 terjadi suatu krisis ekonomi Nasional yang merisaukan, yang telah menumbangkan ORDE LAMA (Demokrasi Terpimpin) dan dibentuknya ORDE BARU.
Pemerintah/Negara mengambil peran untuk keluar dari krisis tersebut, malahan melanjutkan perannya sebagai Pelaku Utama Pembangunan sesudah krisis itu. Sehingga Pembangunan selama itu disebut “Government/State led development”. Hal ini terjadi bukan karena ideology (Sosialisme) melainkan karena kondisi pragmatis, dimana pada waktu itu tidak ada perusahaan Swasta, dan kalau ada berada dalam kondisi sangat lemah.
Dibawah Pimpinan Negara/Pemerintah, maka Pembangunan dan peningkatan pendapatan Nasional dan per kapita maju pesat.  Jika era Demokrasi Terpimpin sebelumnya adalah era dimana Politik menjadi Panglima (upaya pembentukan dari suatu Sistim Politik Nasional) maka era ORBA dapat dinamakan sebagai era dimana Ekonomi menjadi Panglima (dan upaya-upaya untuk membentuk suatu Sistim Ekonomi Nasional).
Di tahun 1980-an, didesak oleh kebutuhan akan modal, efisiensi, dan teknologi yang lebih meningkat untuk menjaga agar Pembangunan Ekonomi berkelanjutan mantap meningkat, dan di bawah pengaruh globalisasi, maka terjadi proses Swastanisasi dari Pembangunan. Proses tersebut ditandai oleh suatu proses Liberalisasi dan mekanismenya adalah Deregulasi/Ekonomi.
Masalahnya adalah mengapa pada waktu itu proses Deregulasi tidak diarahkan langsung kepada Ekonomi Rakyat. Ada keraguan di kalangan Pemerintah pada waktu itu terhadap kemampuan Ekonomi Rakyat sebagai penggerak utama dari roda Pembangunan.
Ekonomi Rakyat masih perlu diberdayakan, dan pemberdayaan itu dilakukan melalui “link and match” dengan sektor Swasta.  Melalui pemberdayaan sektor Swasta maka diharapkan/dianggap Ekonomi Rakyat akan pula dapat diberdayakan. Jika Pembangunan selama ini adalah “top down” maka proses ini tidak langsung beralih ke sistim “bottom up”, namun melalui sistim (peng)antara “middle down” dan “middle up”. Kita tahu apa yang telah terjadi. Bukan proses “memberdayakan”, melainkan proses “memperdayakan”.  “Up” dan “down” diperdayakan oleh si “middle”. Maka terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini.

Masalahnya sekarang adalah, apakah dalam kondisi krisis dewasa ini, sudah tiba waktunya kita beralih ke Ekonomi Rakyat, melihat peran ekonomi rakyat selama krisis ini seperti yang telah diuraikan itu. Memang ideal, jika bisa begitu. Namun sesuatu yang ideal, tidak lalu harus diidealisasikan, Makna dari suatu ideal adalah  bukan sekedar pada idealismenya, namun pada kemampuan untuk merealisasikan apa yang dianggap ideal itu.
Telah dikemukakan bahwa kemampuan Resistensi Ekonomi Rakyat adalah pada tingkat “subsistence economy”. Ekonomi Rakyat adalah pula ekonomi “from hand to mouth”. Apa yang dihasilkan, dihabiskan! Tidak ada kelebihan untuk melanjutkan dan mendinamisasikan kegiatan. Jika hal itu diperlukan maka dilaksanakan melalui hutang. Sebab itu peran “lintah darat” besar dalam ekonomi Rakyat.
Ini semua dikemukakan tidak dengan maksud untuk memojokkan ekonomi Rakyat, namun untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi yang perlu diperbaiki agar tugas Nasional yang diserahkan kepada Ekonomi Rakyat dapat terlaksana dengan baik dan penuh prospek dan perspektif.  Apa tugas Nasional itu? Mengatasi Pengangguran, mengatasi Kemiskinan, mengatasi Hutang. Ketiga target ini memang mengena pada kepentingan ekonomi Rakyat! Suatu tantangan bagi ekonomi Rakyat! Menghadapi tugas besar/tugas nasional ini, para pelaku ekonomi Rakyat perlu di”upgrade”.
Disamping tugas besar Nasional yang berjangka itu, ada pula tugas Nasional yang mendesak!  Dewasa ini, terlebih sesudah kejadian 11 September 2001 di Amerika Serikat, kita mengalami kemerosotan investasi dan eksport termasuk Pariwisata. Dalam bahasa ekonominya adalah bahwa kita mengalami kemerosotan dari “external demand”. Kondisi ini perlu diimbangi dengan menciptakan/mengaktifkan “domestic demand” yakni “demand” akan investasi dan konsumsi. Potensi untuk itu ada di dalam Negeri karena masih cukup pendapatan dalam negeri dan simpanan dalam negeri yang tersembunyi dan terpendam. Memang ada pendapatan dan simpanan dalam negeri yang lari keluar, tetapi sebagian besar masih “berkeliaran” di dalam negeri. Mereka tidak menjadi efektif (“effective demand”) antara lain karena ketidakpastian hukum dan keamanan. Maka dari itu programa hukum dan kesesuaian harus menunjukkan prioritas bagi  Pemerintah.  (Hukum dan keamanan ini juga dituntut oleh para investor asing!). Penciptaan dari “domestic demand” ini mungkin, karena pasar dalam negeri yang besar dan luas. Nah, dalam kontekst ini peran ekonomi Rakyat dapat difokuskan, di”upgrade” dan ditingkatkan.
Hanya jangan dikira jika semua rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka dengan sendirinya Kesejahteraan Rakyat tercapai.  Seperti halnya dalam bidang moral dan agama. Jangan disangka jika setiap anggota masyarakat itu bermoral tinggi dan sungguh-sungguh menghayati agamanya, maka masyarakat dengan sendirinya bermoral dan beragama.  Diperlukan suatu Institusi dan pendekatan secara Institusional.
Selama ini kita telah bicara banyak mengenai Ekonomi Rakyat dan Ekonomi Kerakyatan. Apa itu?  Ekonomi Rakyat mempunyai dua aspek integral. Aspek orientasi kepada kepentingan rakyat banyak dan aspek rakyat sebagai Subyek dalam Ekonomi Negara.  Dalam hal Ekonomi Kerakyatan maka jelas orientasinya pada kepentingan ekonomi Rakyat banyak, namun tidak selamanya rakyat harus menjadi Subyek Ekonomi. Dalam hal Ekonomi Rakyat, maka baik orientasi pada kepentingan dalam ekonomi, maupun Subyek dalam ekonomi adalah rakyat. Hanya seperti telah diuraikan itu, perlu diingat, bahwa kalaupun Rakyat sudah menjadi Subyek Ekonomi, maka tidak dengan sendirinya kesejahteraan Nasional tercapai. Sebab kesejahteraan Nasional bukanlah somasi/jumlah dari kepentingan masing-masing rakyat. Diperlukan suatu Institusi yang mengarahkan kepada kepentingan rakyat dan kesejahteraan Nasional. Diharapkan bahwa Institusi yang demikian itu adalah antara lain Pemerintah dan Parlemen.
Rakyat sebagai Subyek Ekonomi seperti halnya dengan Korporasi-Korporasi besar/maju, memerlukan perlindungan/kepastian Hukum dan iklim usaha, memerlukan akses ke modal, teknologi dan Pasar. Hal-hal ini perlu diciptakan oleh Institusi itu.
Masalah ini perlu ditekankan melihat pengalaman-pengalaman dari usaha-usaha rakyat kecil di kota-kota yang lazim dinamakan Kaki Lima yang dikejar-kejar itu. Mereka dianggap sebagai “underground economics”, pengganggu ketertiban umum, sebagai usaha yang “inferior”. (Sementara menurut suatu penelitian, mereka sehari dapat memperoleh antara Rp. 10.000 - Rp. 20.000, melebihi pendapatan orang yang sama di sektor formal). Dilupakan bahwa mereka memenuhi kebutuhan masyarakat. Disitulah letak fungsi ekonomi mereka. Mereka perlu dibimbing, diberi pendidikan, penjelasan-penjelasan dan insentip-insentip.  Mereka perlu diberi pengertian bahwa untuk berusaha secara berkelanjutan diperlukan tertib usaha. Untuk menjamin tertib usaha, mereka tidak boleh mengganggu ketertiban umum dan harus tunduk pada peraturan (hukum) umum!  Pengertian yang diperlukan, bukan penggusuran!
Pemberdayaan ekonomi Rakyat dewasa ini diperlukan pula untuk membina kader-kader Pelaku Ekonomi Generasi baru menggantikan Generasi Pelaku Ekonomi yang sudah tumbang ini. Mereka sendiri tadinya juga berasal dari usaha ekonomi rakyat, usaha/pedagang kecil dan menengah. Namun suatu Generasi Pelaku Ekonomi Nasional yang bersih, tidak dimanjakan dengan subsidi, proteksi dan fasilitas, apalagi dengan KKN, tangguh mental dan professional dalam berusaha.
Ini berarti pula perlu dikembangkan suatu sistim mobilitas vertikal secara sehat dan mandiri dalam masyarakat dunia usaha! Dewasa ini hal ini diblokir oleh tidak selesai-selesainya proses penyehatan Perbankan dan Korporasi.
Kembali kepada masalah Krisis Moneter dan Pemulihan kembali Ekonomi Nasional. Telah dikemukakan betapa terpuruknya Ekonomi kita dan betapa rapuhnya sektor modern kita, terlebih sektor Finansial dan Korporasi. Dengan segala upaya dan energi serta bantuan luar negeri, kita belum saja melihat titik terang. Lima (5) tahun krisis ekonomi adalah sudah terlalu panjang dan karena sifatnya multidimensional maka ia dapat menggerogoti secara meluas dan mendalam sendi-sendi kita hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Jika hal ini dikaitkan dengan bahaya-bahaya proses desintegrasi sosial, regional dan nasional maka krisis ekonomi yang berkepanjangan ini dapat membawa Bangsa, Negara dan Masyarakat kita kepada kehancuran total. Maka dari itu krisis ini perlu segera diatasi!
Dalam hal ini kita berhadapan dengan suatu Dilema Fundamental yang “persistent” sekali. Dilemanya adalah di satu pihak ada tuntutan untuk penyelesaian dulu semua kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu, baru melangkah maju, di lain pihak ada urgensi, kita maju ke depan (termasuk upaya penyelesaian krisis), dan sambil berjalan ke depan kita secara selektif menyelesaikan kebobrokan-kebobrokan dari masa lalu.
Untuk mengatasi Dilema Fundamental ini diperlukan suatu Konsensus Politik secara Nasional, yang berfokus pada pilihan politik untuk me-Rekonsiliasikan keperluan penyelesaian secara tuntas masalah-masalah dari masa lalu dengan kepentingan bangsa dan Negara untuk maju ke depan dan yang didukung oleh semua pihak. Dengan adanya Konsensus Politik secara Nasional itu, barulah kita dapat menyusun suatu Programa Nasional untuk cepat keluar dari krisis dan mulai memulihkan kembali Pertumbuhan Ekonomi Nasional yang mampu memberantas Pengangguran, Kemiskinan, Kebodohan, dan Hutang Nasional. Sebab disitulah letak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat kita, Hic et nunc!

Tiada ulasan:

Catat Ulasan