Pemerintah Siapkan Regulasi Jaring
Pengaman Sektor Keuangan
Krisis ekonomi dan
moneter 1997 nampaknya sudah sangat membekas di hati para ekonom Indonesia.
Hampir semua sektor mengalami kehancuran, termasuk di dalamnya perbankan. Bisa
dikatakan, kondisi perbankan Indonesia waktu itu carut-marut. Pasalnya, banyak
bank yang �sakit' karena
tidak mampu menaikan tingkat kesehatannya alias kesulitan likuiditas.
Akibatnya, banyak bank yang ditutup dan melakukan merger.
Untung saja Bank
Indonesia (BI) cepat turun tangan untuk menangatasi persoalan tersebut.
Otoritas moneter dan perbankan itu menelurkan kebijakan yang kontroversial
yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Walaupun sempat ditentang oleh
banyak kalangan, karena disinyalir hanya menguntungkan pemilik bank, namun BLBI
tetap berjasa bagi sektor perbankan Indonesia. Sebab, kalau saja BI waktu itu
tidak berani melakukan trobosan tersebut, bisa jadi Indonesia saat ini hidup
tanpa bank.
Sayangnya niat
tulus BI itu disalahgunakan oleh para pemilik bank yang menerima BLBI. Sebagian
besar mereka yang menikmati uang rakyat itu menyalahgunakan bantuan tersebut
untuk kepentingan pribadi. Maka, trauma itu pun membekas hingga sekarang. Waktu
itu kami tidak mempunyai dasar untuk melakukan suatu tindakan kalau terjadi
krisis yang sifatnya sistemik, walaupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan membolehkan kita untuk mengambil dana APBN kilah Oey Hoey
Tiong, Direktur Direktorat Hukum BI kepada hukumonline, di kantornya, Komplek BI, Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (3/5).
Tidak mau kembali dibodohi oleh para
pengemplang dana BLBI, kali ini bank sentral bersama Departemen Keuangan
(Depkeu) sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman
Sektor Keuangan (RUU JPSK). RUU ini mereka sinyalir sebagai jurus ampuh bagi
perbankan jika terjadi krisis seperti tahun 1997.
RUU itu berisi mengenai sistem yang
terdiri atas pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran,
serta pemberian fasilitas lender of last resort (LoLR)
atau fasilitas yang diberikan oleh BI kepada bank untuk mengatasi kesulitan
likuiditas karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih
kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Selain itu RUU itu juga berisi
tentang program penjaminan simpanan dan manajemen krisis yang bertujuan untuk
menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan, melalui koordinasi yang
efektif antara lembaga yang berwenang.
Singkatnya, jika terjadi krisis perbankan
dan moneter, bank yang kesulitan likuiditas dan solvabilitas akan memperoleh
fasilitas pendanaan jangka pendek atau pembiayaan darurat dari pemerintah.
Berbeda dengan BLBI yang terkesan dipaksakan, BI dan
Depkeu terkesan ekstra hati-hati dalam merumuskan RUU ini. Buktinya, draf yang
dirancang sejak awal 2005 itu hingga saat ini masih bolak-balik dari BI ke
Depkeu untuk diselaraskan. Akibat belum tuntasnya RUU ini, kabarnya Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memasukan RUU tersebut sebagai program legislasi
nasional (prolegnas) 2007.
Menurut Oey, banyak hal yang harus
dipikirkan oleh regulator dalam merumuskan RUU ini. Dia sendiri hingga sekarang
belum puas terhadap rumusan itu. Saya lihat pola pikir yang merancang
Undang-Undang ini bukan untuk membentuk suatu jaring pengaman, cetusnya.
Ketidakpuasan Oey ini lantaran RUU
tersebut mengatur terlalu ketat. Salah satunya aturan tentang jaminan. Bagi
bank yang menerima pendanaan dari pemerintah, maka bank yang bersangkutan harus
mengikat jaminan sekurang-kurangnya sama dengan nilai dana yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Sebagi informasi, waktu BLBI, jaminan
yang dikenakan kepada bank penerima dana, maksimal 50 persen dari total
pinjaman.
Mestinya, kata Oey, tindakan yang pertama
kali yang harus dilakukan otoritas moneter, jika terjadi kondisi demikian
adalah bagaimana menyalamatkan sistem perbankan. Kalau terjadi krisis, yang
terpikir pertama kali adalah keputusan kita, apakah kita akan melakukan bail
out atau tidak. Setelah
kita melakukan penyelamatan atau bail out, ya sudah kita
lakukan dulu apa yang bisa kita lakukan. Namanya tindakan untuk mengatasi
keadaan darurat, tutur Oey.
Tetapi yang saya lihat dasar pemikiran
penyusun rancangan ini adalah kita sudah memutuskan bail
out,
tetapi nanti dulu, supaya pemerintah tidak merugi, yang mau di bail
out harus menyerahkan
jaminannya dulu. Itu sama saja dengan orang yang sekarat ditabrak mobil, lalu
masuk rumah sakit, sementara rumah sakit meminta uangnya lebih dulu. Ya, akan
mati orangnya. Nah, sampai sekarang persepsinya seperti itu, lanjutnya.
Jika rumusan RUU tersebut akan tetap
seperti itu, maka menurutnya, lebih baik ditiadakan saja. Sebab, kalau pun
terjadi krisis, maka tetap saja peraturan tersebut tidak bisa digunakan. Lebih
baik, lanjut Oey, seperti pemerintah Brasil dan Venezuela yang
membiarkan banknya mati bila mengalami kesulitan.
Berpotensi menciptakan moral hazard
Sementara itu beberapa kalangan juga
mempermasalahkan RUU ini. Pasalnya, RUU ini bisa jadi menciptakan moral hazard.
Setiap ada klausul jaminan, pasti akan menciptakan moral hazard
bagi orang-orang yang mau mengkadali peraturan itu, cetus selah seorang
pengamat ekonomi yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Tentang moral
hazard ini, Oey punya
pendapat lain. Dia
berkeyakinan kalau RUU ini tidak akan menciptakan moral hazard. Sebab, kata dia, RUU ini tidak
memberikan hak kepada sesorang, tetapi memberikan wewenang kepada pemerintah.
Pemerintah yang dimaksud Oey dalam hal ini Komite Koordinasi yang terdiri dari
Menteri Keuangan sebagai ketua, serta Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masing-masing menjabat sebagai anggota. Jadi,
yang menentukan bank itu layak ditolong atau tidak kan ada di pemerintah, bukan
di orang yang menerima bantuan, imbuhnya.
Sementara itu,
sejumlah Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyambut positif
rencana Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU itu. Meski begitu, dewan meminta
kejelasan parameter yang bakal diatur dalam regulasi tersebut. Saya pribadi
merespons positif, meski belum menjadi sikap fraksi. Melalui (Rancangan) Undang-Undang ini,
seluruh stakeholders lebih
siap menghadapi krisis. Tak kalah pentingnya adalah mengetahui langkah apa yang
harus dilakukan jika terjadi krisis, ujar salah seorang anggota komisi XI DPR
Maruarar Sirait.
Maruarar mengatakan, meskipun menyambut
positif RUU JPSK, namun harus ada kejelasan parameter di dalamnya, sehingga ada
persamaan persepsi setiap pihak dan tidak akan terjadi tumpang tindih
kewenangan di dalam pelaksanaannya nanti. Kejelasan parameter tersebut mencakup
kewenangan BI sebagai otoritas moneter, pemerintah sebagai pemegang fiskal dan
dewan.
Selain parameter, kata Maruarar, RUU JPSK
harus memiliki orientasi yang harus tercapai. Salah satunya adalah menggerakkan
sektor riil dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Hal semacam ini, tidak
pernah ada dalam penyusunan regulasi yang menyangkut ekonomi maupun moneter,
ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan ini.
Harus diingat, tujuan akhir setiap lembaga
negara berbeda. Contohnya, BI selalu menilai keberhasilan dalam stabilitas
moneter nasional dan pemerintah adalah terkendalinya kondisi makroekonomi.
Seharusnya, tujuan akhir adalah untuk rakyat, lanjutnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan