Sabtu, 2 Mac 2013

Sektor Moneter dan Perbankan


Pemerintah Siapkan Regulasi Jaring Pengaman Sektor Keuangan

Krisis ekonomi dan moneter 1997 nampaknya sudah sangat membekas di hati para ekonom Indonesia. Hampir semua sektor mengalami kehancuran, termasuk di dalamnya perbankan. Bisa dikatakan, kondisi perbankan Indonesia waktu itu carut-marut. Pasalnya, banyak bank yang sakit' karena tidak mampu menaikan tingkat kesehatannya alias kesulitan likuiditas. Akibatnya, banyak bank yang ditutup dan melakukan merger.

Untung saja Bank Indonesia (BI) cepat turun tangan untuk menangatasi persoalan tersebut. Otoritas moneter dan perbankan itu menelurkan kebijakan yang kontroversial yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Walaupun sempat ditentang oleh banyak kalangan, karena disinyalir hanya menguntungkan pemilik bank, namun BLBI tetap berjasa bagi sektor perbankan Indonesia. Sebab, kalau saja BI waktu itu tidak berani melakukan trobosan tersebut, bisa jadi Indonesia saat ini hidup tanpa bank.

Sayangnya niat tulus BI itu disalahgunakan oleh para pemilik bank yang menerima BLBI. Sebagian besar mereka yang menikmati uang rakyat itu menyalahgunakan bantuan tersebut untuk kepentingan pribadi. Maka, trauma itu pun membekas hingga sekarang. Waktu itu kami tidak mempunyai dasar untuk melakukan suatu tindakan kalau terjadi krisis yang sifatnya sistemik, walaupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan membolehkan kita untuk mengambil dana APBN kilah Oey Hoey Tiong, Direktur Direktorat Hukum BI kepada hukumonline, di kantornya, Komplek BI, Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (3/5).

Tidak mau kembali dibodohi oleh para pengemplang dana BLBI, kali ini bank sentral bersama Departemen Keuangan (Depkeu) sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (RUU JPSK). RUU ini mereka sinyalir sebagai jurus ampuh bagi perbankan jika terjadi krisis seperti tahun 1997.   

RUU itu berisi mengenai sistem yang terdiri atas pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, serta pemberian fasilitas lender of last resort (LoLR) atau fasilitas yang diberikan oleh BI kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Selain itu RUU itu juga berisi tentang program penjaminan simpanan dan manajemen krisis yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan, melalui koordinasi yang efektif antara lembaga yang berwenang.

Singkatnya, jika terjadi krisis perbankan dan moneter, bank yang kesulitan likuiditas dan solvabilitas akan memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek atau pembiayaan darurat dari pemerintah.

Berbeda dengan BLBI yang terkesan dipaksakan, BI dan Depkeu terkesan ekstra hati-hati dalam merumuskan RUU ini. Buktinya, draf yang dirancang sejak awal 2005 itu hingga saat ini masih bolak-balik dari BI ke Depkeu untuk diselaraskan. Akibat belum tuntasnya RUU ini, kabarnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memasukan RUU tersebut sebagai program legislasi nasional (prolegnas) 2007.   

Menurut Oey, banyak hal yang harus dipikirkan oleh regulator dalam merumuskan RUU ini. Dia sendiri hingga sekarang belum puas terhadap rumusan itu. Saya lihat pola pikir yang merancang Undang-Undang ini bukan untuk membentuk suatu jaring pengaman, cetusnya.

Ketidakpuasan Oey ini lantaran RUU tersebut mengatur terlalu ketat. Salah satunya aturan tentang jaminan. Bagi bank yang menerima pendanaan dari pemerintah, maka bank yang bersangkutan harus mengikat jaminan sekurang-kurangnya sama dengan nilai dana yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebagi informasi, waktu BLBI,  jaminan yang dikenakan kepada bank penerima dana, maksimal 50 persen dari total pinjaman.

Mestinya, kata Oey, tindakan yang pertama kali yang harus dilakukan otoritas moneter, jika terjadi kondisi demikian adalah bagaimana menyalamatkan sistem perbankan. Kalau terjadi krisis, yang terpikir pertama kali adalah keputusan kita, apakah kita akan melakukan bail out atau tidak. Setelah kita melakukan penyelamatan atau bail out, ya sudah kita lakukan dulu apa yang bisa kita lakukan. Namanya tindakan untuk mengatasi keadaan darurat, tutur Oey.

Tetapi yang saya lihat dasar pemikiran penyusun rancangan ini adalah kita sudah memutuskan bail out, tetapi nanti dulu, supaya pemerintah tidak merugi, yang mau di bail out harus menyerahkan jaminannya dulu. Itu sama saja dengan orang yang sekarat ditabrak mobil, lalu masuk rumah sakit, sementara rumah sakit meminta uangnya lebih dulu. Ya, akan mati orangnya. Nah, sampai sekarang persepsinya seperti itu, lanjutnya.

Jika rumusan RUU tersebut akan tetap seperti itu, maka menurutnya, lebih baik ditiadakan saja. Sebab, kalau pun terjadi krisis, maka tetap saja peraturan tersebut tidak bisa digunakan. Lebih baik, lanjut Oey, seperti pemerintah Brasil dan Venezuela yang membiarkan banknya mati bila mengalami kesulitan.

Berpotensi menciptakan moral hazard

Sementara itu beberapa kalangan juga mempermasalahkan RUU ini. Pasalnya, RUU ini bisa jadi menciptakan moral hazard. Setiap ada klausul jaminan, pasti akan menciptakan moral hazard bagi orang-orang yang mau mengkadali peraturan itu, cetus selah seorang pengamat ekonomi yang tidak mau disebutkan namanya itu.

Tentang moral hazard ini, Oey punya pendapat lain. Dia berkeyakinan kalau RUU ini tidak akan menciptakan moral hazard. Sebab, kata dia, RUU ini tidak memberikan hak kepada sesorang, tetapi memberikan wewenang kepada pemerintah. Pemerintah yang dimaksud Oey dalam hal ini Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua, serta Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) masing-masing menjabat sebagai anggota. Jadi, yang menentukan bank itu layak ditolong atau tidak kan ada di pemerintah, bukan di orang yang menerima bantuan, imbuhnya.

Sementara itu, sejumlah Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyambut positif rencana Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU itu. Meski begitu, dewan meminta kejelasan parameter yang bakal diatur dalam regulasi tersebut. Saya pribadi merespons positif, meski belum menjadi sikap fraksi. Melalui (Rancangan) Undang-Undang ini, seluruh stakeholders lebih siap menghadapi krisis. Tak kalah pentingnya adalah mengetahui langkah apa yang harus dilakukan jika terjadi krisis, ujar salah seorang anggota komisi XI DPR Maruarar Sirait.

Maruarar mengatakan, meskipun menyambut positif RUU JPSK, namun harus ada kejelasan parameter di dalamnya, sehingga ada persamaan persepsi setiap pihak dan tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan di dalam pelaksanaannya nanti. Kejelasan parameter tersebut mencakup kewenangan BI sebagai otoritas moneter, pemerintah sebagai pemegang fiskal dan dewan.

Selain parameter, kata Maruarar, RUU JPSK harus memiliki orientasi yang harus tercapai. Salah satunya adalah menggerakkan sektor riil dalam rangka menyejahterakan masyarakat. Hal semacam ini, tidak pernah ada dalam penyusunan regulasi yang menyangkut ekonomi maupun moneter, ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan ini.

Harus diingat, tujuan akhir setiap lembaga negara berbeda. Contohnya, BI selalu menilai keberhasilan dalam stabilitas moneter nasional dan pemerintah adalah terkendalinya kondisi makroekonomi. Seharusnya, tujuan akhir adalah untuk rakyat, lanjutnya. 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan